Sabtu, 09 April 2016

OLEH-OLEH KECIL DARI CAMBODIA

PEMBACA YANG BUDIMAN

Beberapa waktu yang lalu, saya diutus KWI untuk menghadiri pertemuan di Cambodia tentang “Women and Ecology” bersama dengan 2 rekan lainnya.  Pengenalan sekilas di negara ini, tentu saja tidak sempurna, tentang apa yang saya dengar dan saya lihat, saya tulis untuk anda. Semoga ada inspirasi yang dapat anda petik.

Negara Cambodia:

Penduduknya: 15 juta. Pada umumnya beragama budha.  Jumlah kaum muda:  22%.  Jumlah anak di bawah umur 15 tahun: 39 %.  Total kaum muda dan anak-anak: 61 %. Jumlah Umat Katolik: 20.000  dan tersebar di Vikariat Apostolik Phnom Phen, Prefektur Apostolik Battambang, dan Prefektur Apostolik Kompong Cham.  Dari jumlah tersebut, orang Cambodia: 5.000  dan orang Vietnam: 15.000.  Dari data ini, menjadi amat jelas bahwa jumlah umat katolik yang sungguh-sungguh asli Cambodia hanya sedikit ( 0,03 persen) dari total penduduk Negara Cambodia.

Mata pencaharian penduduk Cambodia adalah petani dan nelayan. Mereka tinggal di desa-desa dan kampung-kampung dengan penghasilan rata-rata 3 USD ( Rp. 39.000 ) sebagai buruh kasar. Negara ini menduduki peringkat ke 133 dari antara 177 negara miskin di Asia.  Kebanyakan yang bekerja sebagai buruh kasar adalah orang-orang Vietnam. Orang Cambodia sendiri lebih suka bekerja sebagai petani, atau pergi ke Thailand supaya mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Mata uang yang beredar di negara ini:  bath (Thailand), USD ( dollar Amerika ) dan riyel ( Khmer - Cambodia).  USD 1 = 4.000 riyel.

Masa lalu: 

Selama 30 tahun ( 1978 -  2008), negara ini mengalami penderitaan besar. Pembantaian (genocide) di bawah Regim Pol Pot terjadi tahun 1978-an.  Tidak terhitung jumlah orang yang menjadi korban.  Orang-orang yang menderita akibat terkena ranjau dan masih hidup juga tidak terhitung. Di banyak tempat, ranjau-ranjau itu masih ada.  Beberapa tahun sebelumnya ( 2008 – 2013) korban ranjau per tahun sekitar 200 – 300 orang. Pada saat ini ( 2015 - ) diperkirakan setiap tahun masih ada sekitar 100 orang yang menjadi korban ranjau. 

Pada masa itu, masyarakat mengalami perlakuan yang kejam dan penderitaan yang luar biasa karena perlakuan yang sewenang-wenang dari pemerintah mereka sendiri. Mereka kelaparan, mengalami kemiskinan yang menyedihkan dan mudah sekali kena penyakit karena kurang gizi. Bapak, ibu bahkan anak-anak dibantai di hadapan anggota keluarga mereka. Anak-anak dipisahkan dari orangtuanya. Banyak sekali anak-anak yang kehilangan orangtuanya, dan tidak tahu di mana rimbanya. Dan ketika mereka sudah menjadi orangtua pun, ayah-bunda, dan sanak saudara mereka tetap tidak diketahui keberadaannya. Semuanya tinggal kenangan hitam dalam hidup mereka.  Tempat-tempat ibadah, gedung-gedung gereja dan kehidupan komunitas, dihancurkan.  Di banyak tempat, ditemukan kuburan-kuburan massal. Di sana ada ratusan tengkorak manusia yang tidak diketahui namanya.

Di Phnom Phen ada sebuah bekas penjara. Penjara itu sebelumnya adalah gedung sekolah, kemudian dipakai oleh regim Pol Pot sebagai tempat penahanan guru-guru, pegawai pemerintah, masyarakat biasa dan anak-anak. Setelah ditangkap, ditanyai dan dipotret, mereka dipenjarakan. Di tempat itu mereka disiksa, dipukul, diborgol kakinya dan tidak diberi makan dan minum setiap hari. Makan diberikan setiap 2 – 3 hari. Mereka tidak boleh berbicara dengan sesamanya. Bila melawan, mereka dipukul. Mereka hanya pakai celana pendek, dan mandi 1 minggu sekali. Sepanjang hari bila tidak ada kegiatan lain, mereka duduk di lantai, dan kedua kakinya diborgol. Mereka mandi dengan cara disemprot air dari jendela penjara. Maka pada masa itu, ribuan penduduk sipil mati di dalam penjara itu.

Turis-turis yang bertandang ke penjara itu, akan melihat ribuan foto dari orang-orang yang disiksa dan mati pada masa itu, kamar-kamar yang sempit, borgol besi, bangsal yang dipakai sebagai tempat tidur dll. Di simpan di saja, alat-alat yang dipakai untuk menyiksa. Sebagian dari bekas penjara itu masih tetap seperti dulu, namun sebagian yang lain telah direnovasi. Di halaman depan dari bekas penjara itu, ada prasasti yang memuat nama-nama orang yang dibunuh.

Masa Kini: 

Sesudah regim Pol Pot berakhir, secara berangsur-angsur negara ini dibangun kembali.  Kota-kota mulai tumbuh. Phnom Phen dan Siem Reap telah menjadi kota turis. Di dua kota besar itu, ada bandara internasional. Banyak orang dari manca negara berkunjung ke tempat ini. Banyak juga negara-negara lain yang menjadi donor tetap untuk membangun infrastruktur, memulai pertanian dan perkebunan, pendidikan dan kesehatan.  Banyak lembaga, para investor dan pengusaha-pengusaha lokal berupaya untuk membangun bangsa ini. Kebangkitan sudah dimulai dan dirasakan oleh masyarakat. Keamanan juga terjamin. Umat katolik dan Pimpinan Gereja sudah diperbolehkan untuk memulai karya sosial, pendidikan dan kesehatan serta karya-karya kemanusiaan lainnya.

Banyak hotel, restoran, toko-toko besar telah ada di banyak kota. Alat-alat transportasi dan komunikasi, kelancaran perjalanan, dan sungguh bisa dirasakan. Kerja sama antar negara juga makin meningkat. Hal ini tentu amat membanggakan. Memang masih ada banyak proyek besar yang sedang digarap pemerintah dan para kontraktor. 

Kemarau amat panjang sedang melanda negeri ini. Di mana-mana sepanjang perjalanan dari bandara sampai ke tempat pertemuan, lahan-lahan pertanian tampak kering. Air amat sulit, apalagi suhu di sebagian besar wilayah berkisar 39 – 41 derajat.  Kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan pangan amat dirasakan oleh masyarakat kecil. Ada sebuah danau besar yang menjadi sumber air minum, namun letaknya amat jauh dari pemukiman penduduk, sehingga perlu saluran-saluran air untuk mengalirkan pasokan air kepada masyarakat.

Di relung sanubari saya, muncul rasa sedih, iba, tetapi juga seribu satu gejolak yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.  Yang meyakini bahwa tragedi kemanusiaan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Manusia sebagai ciptaan Allah sesungguhnya dipanggil untuk menolong sesamanya yang menderita, namun amat sering yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan yang lebih menyedihkan, tragedi kemanusiaan itu disebabkan oleh bangsa atau masyarakat kepada orang-orang dari kalangan mereka sendiri.  

Saya hanya bisa berdoa dan berharap, melakukan upaya-upaya serta menyuarakan agar perkembangan ilmu, teknologi dan pengetahuan, komunikasi dan dialog yang diterjadi di bumi ini, tidak menumpulkan dan membungkam hati nurani.  Bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberi akal budi dan berhati nurani, serta diutus untuk membangun dunia ini menjadi tempat yang indah, nyaman dan manusiawi bagi semua orang.